Pilih Yoghurt, Biar Enggak Gendut

Kompas – Selasa, April 28, 2009

KOMPAS.com – Tidak hanya rela mengantri berjam-jam demi sepasang sepatu merek tersohor ataupun berebut berlian saat ada penawaran diskon perhiasan, kini kaum urban Jakarta juga tengah kecanduan yoghurt. Mereka pun rela berdesakan demi segelas yoghurt beku rasa buah berlumur es krim.
Antrean panjang membelah lorong food court di Pondok Indah Mall 2 (PIM 2). Lebih dari 40 orang rela berdiri mengular untuk mendapatkan segelas yoghurt. Terlihat pula beberapa pengunjung yang memenuhi ruang duduk butik itu asyik mencecap yoghurt aneka warna. Celetuk riang para penikmat yoghurt ini tidak henti terdengar. Seiring merasakan kenikmatan yoghurt, mereka bersenda-gurau dengan keluarga, relasi, atau teman.

Jika dilihat sepintas, pengunjung butik yoghurt ini cukup beragam. Laki-laki dan perempuan, mulai dari yang baru belasan tahun hingga di atas 50 tahun sama-sama menikmati yoghurt. Yoghurt menjadi pilihan saat orang makin gandrung dengan makanan sehat. “Untuk orang yang sedang diet, yoghurt itu ibaratnya camilan yang bebas dari rasa bersalah,” cetus Putri Sambodho yang sehari-hari berprofesi sebagai konsultan hukum, sambil menikmati yoghurt rasa mangga.

Tren hidup sehat
Rata-rata para penikmat susu fermentasi kental dengan rasa asam ini menyukai yoghurt lantaran berbagai khasiat yang terkandung di dalamnya. Selain bisa melunturkan kolesterol, yoghurt juga sanggup menghaluskan kulit. “Makanya kulit saya halus,” ucap Jesslyn, pengunjung sambil terbahak. Gaya hidup sehat menjadi alasan tren mengudap yoghurt di butik ini. “Yoghurt, tidak cuma enak tapi juga bermanfaat bagi pencernaan,” ajar Ratna sambil mengantri. Tak heran, makin banyak butik yoghurt merebak di mal-mal ternama di Jakarta. Sebut saja Sour Sally atau Heavenly Blush. Dua gerai yoghurt ini selalu terlihat penuh pengunjung.

J.Co donuts and coffee yang semula hanya menawarkan donat dan kopi, kini juga merambah ke yoghurt kelas premium. Belum lama ini, J.Co mulai menambah menu yoghurt di tiap gerainya sebagai lifestyle product. “Selain membeli donat, banyak pengunjung yang datang juga membeli yoghurt kami,” ujar pengelola salah gerai J.Co di Jakarta Selatan. Butik-butik yoghurt ini pun pun seolah tak mau kalah berebut pelanggan. Mereka membuat menu-menu istimewa yoghurt. “Kami bikin yoghurt yang tidak terlalu asam dengan campuran ice cream,” ujar Sunaryo, Manajer Penjualan Heavenly Blush di PIM 2.

Demikian pula dengan yoghurt andalan J.Co yang disajikan dengan topping dan irisan buah-buahan segar sesuai pilihan konsumen. Lantaran menyasar konsumen premium, butik yoghurt tersebut biasanya menempati lokasi di pusat-pusat perbelanjaan kelas menengah atas. “Segmen kelas menengah ke atas memang paling potensial,” tutur Thomas Darmawan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI).

Makanya jangan heran jika dalam sehari, baik Heavenly Blush ataupun J.Co bisa menjual 200 hingga 400 cup yoghurt ukuran single. Padahal, harga satu cup yoghurt tidak bisa dibilang murah. Banderol harganya berkisar antara Rp 18.000,- hingga Rp 45.000,- per gelas. “Tergantung besar kecil cup dan topping yang dipilih,” ujar Sunaryo.

Boleh jadi, banderol harga yang mahal itu juga menjadi daya tarik segmen premium. “Rasanya bangga menenteng cup yoghurt bermerek dari salah satu butik yoghurt,” cetus Franikka, pengunjung Heavenly Blush. Bisa jadi, para penggila yoghurt tak sekadar larut dalam eforia tren makanan sehat. Karena, pada kenyataannya, berbagai penelitian menyebutkan bahwa yoghurt memang berprotein tinggi dan menyehatkan.

(Nadia Citra Surya)

Rumput Laut di Lembar Kertas

01 January 2008

Kertas diproses dari limbah agar-agar tanpa bahan kimia, berserat agalosa yang homogen, massal dan ramah lingkungan

Seorang lelaki tinggi besar berpotongan rambut crew cut menyodorkan selembar kertas di depan Trobos dan beberapa kuli tinta lainnya. Tak ada yang ajaib pada kertas putih bersih tersebut. Hanya saja ketika diraba, permukaan kertas itu lebih halus, seperti kertas mahal yang dipakai majalah Time. Churl Hak You¯nama lelaki itu¯mengatakan, kertas itu memang bukan kertas biasa yang berbahan baku kayu, melainkan kertas yang dihasilkan dari rumput laut klas algae merah (Rhdophyta). You yang berkebangsaan Korea Selatan kemudian berkisah, suatu hari agar-agar yang menjadi menu dietnya jatuh ke lantai rumahnya. Dia punguti ceceran makanan kenyal itu yang sekilas mirip bubuk kertas. Di saat itu pula otaknya bekerja lalu sampai pada pertanyaan, ”Mengapa agar-agar ini tidak dibuat kertas?” ujarnya.

You yang sebenarnya tamatan fakultas sastra lantas mencari referensi jenis rumput laut yang bisa menjadi bahan baku pulp atau bubur kertas. Untuk itu, You rela menjelajah Amerika, Jepang, China,Vietnam dan Thailand. Akhirnya pada 2003, dia mendapat paten dari Korea dan Amerika tentang proses produksi kertas berbahan baku algae merah (Gelidium amansii dan Pterocladia lucia). Sayangnya, di Negeri Ginseng yang subtropis, algae merah cuma bisa panen saat musim panas, Mei dan Juni. Fakta tersebut menuntun langkahnya sampai di Indonesia dan bertemu Grevo S Gerungan, dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dari Universitas Sam Ratulangi, Manado. Panen Sepanjang Tahun Sejak 2006 You dan Grevo melakukan budidaya algae merah di pesisir Nusa Lembongan, Bali dan Lombok. “Kami bekerjasama dengan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) juga dengan Balai Budidaya Laut (BBL) Lombok,” kata You. Di Indonesia, budidaya algae merah bisa dipanen sepanjang tahun yaitu dalam waktu 70 hari dengan hasil 4 kali biomass bibit. Yang menggembirakan lagi, “Dari hasil survei kami, sepanjang pantai selatan mulai dari Pamengpeuk (Garut) sampai Kupang (NTT) sangat berpotensi untuk budidaya algae merah”. Tak heran jika kemudian You mendirikan perusahaan Pegasus Internasional guna mendanai riset di Lombok. Dan Samsung Corporation, konglomerat asal Korsel berada di belakangnya. “Sekarang kami sedang menangani Ptilophora, Pterocladia capillacea (Gelidium) dan satu jenis lagi yang akan dikembangkan, nama lokalnya beludru,” imbuh Grevo. Saat ini, katanya, telah ada 5000 thallus benih. Sementara untuk keperluan budidaya dibutuhkan 100 ribu thallus per-hektar lahan. Grevo mengaku, proses pembenihan ini tidak mudah karena masih harus mengambil dari alam. “Kita butuh waktu sampai 3 tahun untuk mendapatkan 5000 thallus benih, itu pun dengan berkali-kali gagal,” ucapnya. Untuk pengembangan selanjutnya akan dibangun satu pabrik pulp di setiap 500 hektar lahan. Grevo memperkirakan, setiap hektar lahan akan butuh 2 petani. Setiap hektar akan menghasilkan 200 ton rumput laut per-tahun. Pulp yang bisa dihasilkan mencapai 30% dari rumput laut kering. You menambahkan, dana pembangunan satu pabrik pulp mencapai US$ 2 juta atau sekitar Rp 18 miliar. Meski demikian, masyarakat juga bisa membuat pabrik ini karena teknologinya sederhana. “Seperti menggunakan mesin mixer,” jelas You. Grevo memprediksi pada awal 2009 sudah bisa terealisasi. Disain pabrik rencananya akan mengambil dari Jepang. Tak Ada Limbah Proses pembuatan kertas dari rumput laut, tidak berbeda dari pembuatan kertas dari kayu. Ada lima proses pokok, yakni penyiapan bahan baku, pemasakan rumput laut, ekstraksi rumput laut, pemutihan dan pencetakan Secara runtut, proses produksi dimulai dari panen rumput laut merah, kemudian dijemur, dibersihkan, dan dipotong-potong. Lalu dimasukan dalam tungku dan dimasak pada suhu tinggi (boiling), sehingga keluar ekstrak “inti” berupa agar untuk pangan. Ampas rumput laut—yang telah diambil agarnya—kemudian diputihkan (bleaching) lalu dihancurkan jadi bubur rumput laut merah (pulp). Bubur inilah yang kemudian diolah jadi kertas. “Industri kertas ini tidak bersaing dengan industri agar-agar. Kita jusru memanfaatkan limbah agar-agar,” ujar Grevo

Bila dibandingkan, proses produksi kertas dari kayu, sarat akan bahan kimia seperti NaOH dan Na2S (untuk memisahkan serat selulosa dari bahan organik). Dan, berefek gas yang berbau dan mengandung hidrogen sulfida (H2S), methyl mercaptan (CH3SH), dimethyl sulphide (CH3SH3), dimethyl disulphide (CH3S2CH3) dan senyawa gas sulfur. Hal inilah yang membuat operasional pabrik kertas berbahan baku kayu hampir selalu berbenturan dengan kepentingan lingkungan hidup. Sementara pengolahan produksi kertas dari rumput laut, diproses nyaris tanpa bahan kimia selain pemutihan dengan klorin. Dan yang terpenting, menurut You, hampir tidak ada limbah yang keluar, sehingga tidak berdampak bagi kesehatan.

Selengkapnya baca Majalah TROBOS edisi Januari 2008