Pengawetan Telur dengan Perendaman dalam Asap Cair

ATIKA RETNO UTAMI

Pengolahan bahan pangan dengan tujuan memperpanjang masa simpan harus dilakukan dengan hati-hati karena hasil olahan tersebut harus bebas kuman, bakteri atau jamur. Selain itu harus diusahakan agar nilai gizi yang terkandung dalam bahan pangan tersebut tidak banyak berkurang karena proses pengolahan (Margono dkk., 1993).

Salah satu pengolahan yang dapat memperpanjang umur simpan adalah dengan pengawetan. Pengawet merupakan bahan yang ditambahkan ke dalam makanan guna mencegah atau menghambat tumbuhnya jamur, bakteri, atau jasad renik. Dengan begitu proses fermentasi (pembusukan), pengasaman atau penguraian akibat aktivitas jasad renik dapat dicegah sehingga daya simpannya relatif lebih panjang (Prasasto, 2008). Selain itu pengawetan dapat menghambat atau mencegah terjadinya kerusakan, mempertahankan mutu, menghindarkan terjadinya keracunan, sehingga dapat mempermudah penanganan dan penyimpanan.

Perkembangan industri pengolahan makanan menyebabkan pemakaian pengawet pun semakin meningkat (Mohi, 2007). Boedihardjo (2007) secara garis besar membedakan zat pengawet menjadi tiga, yaitu zat pengawet yang memang tidak layak dikonsumsi, alias berbahaya seperti boraks, formalin dan rhodamin B; ADI (Acceptable Daily Intake) yang selalu ditetapkan batas penggunaan hariannya (daily intake) guna melindungi kesehatan konsumen; dan GRAS (Generally Recognized as Safe) yang umumnya bersifat alami, sehingga aman dan tidak berefek racun sama sekali seperti penggaraman, pendinginan (Pembekuan), pengeringan, pengalengan (canning), penyinaran (Iradiasi), dan pengasapan.

Pengasapan merupakan salah satu metode pengawetan makanan yang digabungkan dengan proses penggaraman (perendaman dalam air garam). Makanan diasapi dengan panas dan asap yang dihasilkan dari pembakaran kayu, dan tidak diletakkan dekat dengan api agar tidak terpanggang atau terbakar (Margono dkk., 1993). Menurut Adawyah (2007) pengasapan akan menghasilkan senyawa asap dalam bentuk uap dan butiran-butiran tar yang akan menempel pada ikan dan terlarut dalam lapisan air, sehingga terbentuk aroma dan rasa yang khas pada produk. Proses pengasapan yang dilakukan ini selain menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan memperbaiki flavor juga menghambat oksidasi lemak. Pengasapan pada pengolahan ikan untuk mendapatkan rasa dan aroma tertentu. Pengasapan secara tradisional meliputi perlakuan pendahuluan yaitu penggaraman, pemfiletan ikan dengan asap kayu. Dalam perkembangannya pengasapan digunakan untuk mendapat produk makanan olahan dengan rasa tertentu (Hong et al., 2008).

Pengasapan dibagi menjadi dua jenis, yaitu cara tradisional dan cara dingin. Pada cara tradisional, asap dihasilkan dari pembakaran kayu atau biomassa lainnya (misalnya sabut kelapa, serbuk akasia, dan serbuk mangga). Pada cara basah, bahan direndam di dalam asap yang sudah dicairkan yang disebut juga asap cair (Kemal, 2001).

Sampurno (2006) mengkategorikan asap cair sebagai ‘gras’ atau generally recognized as safe atau secara umum aman dikonsumsi. Menurut Lestari (2008) asap cair ini dapat diaplikasikan  dengan penyemprotan (air spray), penguapan (vaporing), pengolesan, dan pencelupan atau pencampuran ke dalam bahan pangan yang diproses. Hal ini dikarenakan produk pengawet tersebut tidak mengandung senyawa yang membahayakan kesehatan. Setiaji (2006) menambahkan bahwa senyawa fenolat–fenol rantai panjang– yang terkandung dalam asap cair bukanlah senyawa kimia yang berbahaya bagi kesehatan. Satu-satunya senyawa dalam asap cair yang kurang baik bagi kesehatan yakni Benzo (a) pirin atau yang biasa disebut tar. Namun senyawa ini sudah dihilangkan pada proses awal pembuatan.

Adawyah (2007) menjelaskan beberapa kelebihan penggunaan asap cair yaitu dapat menghasilkan produk yang seragam dengan konsentrasi yang lebih tinggi, dapat mengontrol aroma, dapat diaplikasikan pada berbagai jenis bahan pangan, dapat menghemat penggunaan kayu, sehingga dapat mengurangi polusi

Haruskan ku berilmu?

Memiliki ilmu merupakan dambaan setiap insan, bahkan dalam agamamupun mendapat perhatian.

Namun saat kita memilikiilmu yang memang kita cari itu (meski hanya secuil) kita sudah bangga, sudah merasa hebat, sudah mampu menindas yang lain, mampu tuk berbeda dengan saudara kita, mampu mampu mengecilkan makna yang lain, mamu memaksakan kehendak. Bahkan yang lebih parah dan sering kita lakukan, dengan ilmu itu kita justru saling bermusuhan dan berbantah-bantahan. Hanya dengan alasan mengembangkan ilmu kita putuskan tali persaudaran.

Ya Allah, mungkinkan dengan ilmu itu aku dapat semakin sadar bahwa aku bukanlah apa-apa karena banyak yang punya ilmu lebih hebat dariku karena begitu banyaknya ilmu-Mu?

Mungkinkah ku dapat berkerja sama untuk memuliakan hamba-Mu yang lain dengan berbagi ilmu? Aku memang tidak memiliki ilmu tapi jika aku menyatukan mereka yang berilmu untuk mendidik hambamu yang lain bukankah itu juga berbagi?

Ya Allah, berilah kemudahan hati iniuntuk menerima pendapat orang lain, bahkan yang mendahului ideku sekalipun jika semua itu untuk kebaikan.

Ya Allah jauhkan sifat sombong dan ingin menunjukkan kekuasaanku dari Ilmu-Mu, agar ilmu yang kau berikan padaku dapat kumanfaatkan dimana saja (andai ditempat yang semestinya justru kutak dapat berbuat).

Ya Allah, jauhkanlah rasa amarah dan dendam pada hati ini, agar aku ikhlas menerima ketika cara tuk berbagi ilmu itu tak dapat diterima orang lain.

Ya Allah, lapangkanlah hati ini, agar aku mampu menerima pendapat orang lain dan berkata yang baik sebagai wujud orang berilmu dan bukannya menyakitkan saudaraku.

Ya Allah berkaihlah ilmu yang kau berikan padaku, agar aku mensyukuri nikmat-Mu bukannya menjadikan ku sombong atau bahkan mengingkari-Mu.

Ya Allah hanya kepada-Mu lah aku memohon.