Pro Kontra mengkonsumsi Susu Sapi

Untuk menambah daftar panjang hal negatif tentang susu dapat pula dibaca: ” Foods that are Killing You, Slowly but Steadily” (M.A. Gupta, 2004). Dalam buku itu, susu termasuk didalamnya.

Tetapi, menurut saya begini: (rekan-rekan boleh tidak setuju):

Pertama, susu berlebihan jika hanya diperuntukkan bagi anak sapi. Seekor induk sapi perah dapat menghasilkan susu lebih dari 7x bobot badannya. Induk sapi perah dengan bobot 400 kg dapat menghasilkan susu sekitar 3 ton dalam 1 periode laktasi. Ini jika produksi susunya rata-rata 10 liter per hari dengan periode laktasi 10 bulan. Sapi di Amerika & New Zealand produksinya bisa lebih dari 15 lt per hari. Seekor anak sapi hanya mengkonsumsi separoh atau kurang dari susu tsb. Pada awal kelahiran, konsumsi susu anak sapi memang relatif banyak, tetapi berangsur menurun sejalan dengan bertambahnya umur. Berdasarkan fisiologi alat pencernaannya, semakin dewasa anak sapi, maka selain lambungm rumennya juga berkembang. Konsekuensinya, jenis pakan yang diperlukan adalah rumput/ hijauan (banyak serat kasar) dan konsentrat. Artinya, minum susu dari induknya semakin sedikit. Nah, sisa susu yang hampir 1,5 ton di kemanakan?.

Kedua, susu layak sebagai bahan makanan. Zat gizi susu relatif lengkap dan proporsional, banyak mirip dengan ASI, atau hampir sebansing dengan bahan makanan tertentu yang lain. Keunggulan zat gizi dan peranan spesifik beberapa nutrisi susu bagi kesehatan telah banyak diungkapkan. Jadi, seperti halnya bahan makanan yang lain, susu layak dikonsumsi oleh balita (pasca ASI), anak-anak, remaja dan orang dewasa. Kalaupun susu dianggap ada kekurangannya (seperti beberapa makanan yang lain) itu tentunya wajar saja. Ada yang mengatakan, susu dalam bentuk cair tidak dapat dicerna di mulut dan memberatkan proses pencernaan di lambung dan usus. Ingat bahwa hanya sedikit bahan makanan yang dicerna dimulut, karena disini yang paling berperan enzim amilase. Protein susu akan dicerna di Lambung dan usus halus, sedangkan karbohidrat susu (laktosa) akan dicerna di usus halus. Sebagian kecil orang kadang mengalami masalah pencernaan laktosa (lactise intokerance), tetapi banyak orang tidak mengalami masalah. Ada sebagiam orang alergi terhadap susu (mungkin laktoglobulin dari protein whey susu), tetapi banyak juga yang tidak. Dalam kasus ini mirip kasus alergi yang dialami beberapa orang yang mengkonsumsi kuning telur, serealia tertentu, udang dan hasil laut.

Ketiga, susu dianggap sumber lemak dan kolesterol yang menbahayakan. Orang barat memang merekomendasikan mengurangi konsumsi hasil hewanim karena sudah over nutrisi. Sementara masyarakat kita masih banyak yang kekurangan. Konsumsi susu orang Amerika sekitar 90 kg/kap/th, sedangkan kita baru 7,8 kg/kap/hr. Tetangga kita Filipina 18,8; Malaysia 22,5; Thailand 28 dan Singapura 32 kg/kap/hr. Nah, baru bisa minum sedikit koq sudah akan diminta berhenti mikum. Kasihan dong. Kasihan juga para peternak sapi perah kita.

Keempat, last but not least, di Al-Qur’an surat An-Nahl 66, Alloh Swt menganjurkan manusia minum susu. Nah, kelebiahan susu tsb diatas berarti diciptakan untuk manusia. Betul ya?

Begitu, Tks.

Wassalam,

Anang M. Legowo (PATPI Semarang)

Sapi didikan Kapitalis?

Suatu saat saya pernah melihat pameran pertanian di Australia. Menurut pengamatan saya, sapi2 Australia itu telah dibreeding sedemikian rupa sehingga sangat besaaaar kalau dibandingkan dengan sapi2 yang saya lihat di dekat rumah saya di Jogja dulu. Namun demikian, wajah sapi2 ini terlihat sedih, dibandingkan rekan2 sejawatnya di tanah air.

Dari forum diskusi organik, lingkungan, kelompok penyayang binatang dan sejenisnya, saya ketahui bahwa sebagian besar sapi dan hewan2 ternak di Australia dipelihara dalam kondisi yang menyedihkan. Kandangnya pas badan, sehingga konversi energi dari pakan menjadi daging atau susu bisa maksimal. Mereka juga diberi hormon agar cepat besar, dan produksi daging, susu, dan telurnya maksimal. Sisi baiknya, memang harga susu, telur dan daging di Australia itu murah sekali. Anak2 Australia menjadi tinggi, besar, dan jarang ada yang OON karena kekurangan protein.

Namun kemudian muncul issue2 soal allergi, obesitas, dan kecurigaan terhadap susu sebagai pemicu kanker.

Pertanyaan saya, apakah memang sapi yang dipelihara dengan pakan yang berlebihan, jarang punya kesempatan jalan2 melihat indahnya dunia, distimulir dengan hormon pendorong laktasi, dan diperah dengan mesin itu tubuhnya akan memberontak dan menghasilkan trace element yang berbahaya bagi manusia?

Saya juga teringat dengan peternakan sapi di pertapaan Rawaseneng yang sering saya kunjungi jaman dahulu kala, ketika masih sekolah. Sapi2 di sana dipelihara dengan penuh cinta kasih… karena tujuannya memang hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup para pertapa dan anak2 yatim piatu yang ada disitu. Sesuai pilihan ideologi yang dianutnya, hidup dalam doa, kasih, dan kesederhanaan, di pertapaan Rawaseneng, memang tidak ada aura keserakahan untuk menjadi kaya-raya sama sekali.

Sapi-sapi Rawasenang berkesempatan menikmati udara segar dan pemandangan yang indah di pegunungan. Makan makanan alami. Tidak diberi obat2an. Kalau sakit cukup diberi jamu2an herbal. Mereka diperah secara manual dengan tangan yang terampil… plus doa sebelum dan setelah memerah susu. Setiap hari mereka mendengar lagu puji-pujian kepada Tuhan dari para pertapa, baik dalam langgam Gregorian maupun Jawa klasik. Sapi-sapi ini juga nyaris tidak pernah mendengar bentakan, omelan maupun gosip karena technically, pertapa memang tidak boleh berkata-kata selain untuk berdoa. Hasilnya? Susu segar terlezat yang pernah saya minum! Kental, dan gurih, tetapi tidak menimbulkan eneg.

Memang di sana disamping sapi lokal, di sana ada turunan sapi Holland, yang nenek moyangnya memang diseleksi untuk menghasilkan susu. Dan beberapa tahun yang lalu, saya pernah mendengar bahwa jenis2 musik yang berbeda akan mempengaruhi volume susu yang dihasilkan. Di Indonesia sendiri, ibu menyusui disarankan untuk tidak bersedih hati, agar produksi ASI tidak terganggu.

Saya tidak tahu, apakah cara budidaya sapi ala ‘kapitalisme’ dan ala ‘surgawi’ ini memang berpengaruh terhadap volume dan kualitas susu yang dihasilkan?

Terimakasih banyak Pak Anang.

Salam,

daisy (Anggota PATPI di Australia)

isomerisai Minyak Kanola

Minyak Canola tidak mengandung bentuk trans dari asam – asam oleat, linoleat dan linolenat, oleh sebab itu agar minyak ini dapat memiliki karakter yang lebih baik bagi kesehatan maka perlu dilakukan proses isomeriasasi terhadap beberapa asam lemaktidakjenuhnyamnejadi bentuk trans (Hénon, et al 1999).

Isomerisasi asam linoleat dan linolenat terjadi selama deodorisasi. Isomer trans dari asam linoleat terjadi sebanyak 0,2 – 1,0 % dari total asam lemak dan isomer trans dari asam linolenat dapat lebih dari 3 % pada minyak kedelai dan minyak Canola komersial (Wolff. 1992). Waktu tinggal dan suhu operasi dedodorisasi memiliki peran penting terhdap pembentukan isomer trans. Penentuan kinetika isomerisasi asam linolenat menunjukkan bahwa reaksi terjadi pada ordo pertama dan konstanta isomerisasi pada berbagai suhu mengikuti hukum Arrhenius (O’Keefe, et al. 1993). Isomerisasi asam linolenat 12 – 14 kali lebih tinggi daripada asam linoleat.

Hubungan antara waktu deodorisasi dengan log fraksi isomer asam linolenat cis bersifat linier. Hal inimenunjukkan bahwa rekasi mengikuti ordo pertama hasil yang identik juga terjadia pada asam linoleat (Hénon, et al 1999).

Konstanta isomerisasi asam linoleat dan linolenat mengikuti hokum Arrhenius, log konstanta (K) adalah kebalikan dari fungsisuhu absolute (T):

Asam linoleat: log K(L) = – 7921.95/T + 12.76

Asam linolenat: log K(Ln) = − 6796.63/T + 11.78

Selama deodorisasi terjadi pengurangan total asam linolenat. Hal ini mungkin akibat terjadinya degradasi, sedang pada asam linoleat tidak terjadi degradasi. Sehingga untuk asam linoleat isomerisasinya dapat dirumuskan sebagai

log(cis C18:2)t = −K(Lt + log(tot C18:2)t=0                                                                (1)

persamaan ini dapat diubah menjadi:

(cis C18:2)t = (tot C18:2)t=0·10K(Lt

log K(L) = −7921.95/T + 12.76 atau K(L) = 10[−7921.95/T + 12.76] (2)

(trans C18:2)t = (tot C18:2)t=0 · (1 − 10K(Lt)                                                             (3)

Untuk asam linolenat karena terjadi degradasi maka konstanta degrdasi asam linolenat per jam adalah kd(Ln). sehingga:

log(tot C18:3)t = − kd(Ln)·t + log(tot C18:3)t=0 (4)

persamaan di atas dapat diubah menjadi:

(tot C18:3)t = (tot C18:3)t=0·10kd(Lnt

(log kd(Ln) = −7503.3/T + 12.12 atau  kd(Ln) = 10[−7503.3/T + 12.12] (5)

Isomerisasi asam linolenat:

log(cis C18:3)t = −K(Ln)·t + log(tot C18:3)t (6)

Persamaan di atas dapat diubah menjadi:

(cis C18:3)t = (tot C18:3)t·10K(Lnt

= (tot C18:3)t=0·10−[K(Ln) + kd(Ln)]·t

(trans C18:3)t = (tot C18:3)t=0·10kd(Lnt (1 − 10K(Lnt)                                                    (7)

log K(Ln) = −6796.63/T + 11.78 atau K(Ln) = 10[−6796.63/T + 11.78] (8)

Derajat Isomerisasi (DI)

Derajat isomerisasi biasanya diekspresikan sebagai persentase rasio antara kandungan isomer sam linoleat (atau linolenat) trans dan asam linoleat (atau asam linolenat) total, sehingga rasio ini secara mudah dihitung menggunakan persamaan:

Asam linoleat: (cis C18:2)t/(tot C18:2)t = 10K(Lt

DIL (%) = 100 (1 − 10K(Lt)                                                                                        (9)

Linolenic acid: (cis C18:3)t /(tot C18:3)t = 10K(Lnt

DILn (%) = 100 (1 − 10K(Lnt)                                                                                     (10)

Daftar Pustaka

Hénon, G., Zs. Kemény., K. Recseg., F. Zwobada, and K. Kovari. 1999. Deodorization of Vegetable Oils. Part I: Modelling the Geometrical Isomerization of Polyunsaturated Fatty Acids. JAOCS 76: 73 – 81.

O’Keefe, S.F., V.A. Wiley, and D. Wright. 1993.  Effect of Temperature on Linolenic Acid Loss and 18:3 D9-cis, D 12-cis, D 15-trans Formation in Soybean Oil, JAOCS. 70: 915 – 917.

Wolff, R.L. 1992.  Trans-Polyunsaturated Fatty Acids in French Edible Rapeseed and Soybean Oils, JAOCS. 69:  106 – 110.

membuat sikodekstrin

Amran Laga
J. Teknol dan Industri Pangan Vol XIX No 2 2008: 149 – 157.
Persipan substrat dimuali dengan proses lukuifikasi tapioka dengan penambahan alfa amilase sebanyak -,1% ke dlam suspensi tapioka. suspensi tapioka dipanaskan hingga mencapai suhu 66 C untuk memperoleh hidrolisat dengan tingkat DH 5. Hidrolisat yang diperoleh disimpan dalam ruang pendingin selama 48 jam, kemudian fraksi encer dipisahkan dan endapan yang diperoleh disuspensikanke dalam pelarut yang digunakan (air dan etanol 65% engan perbandingan 1:2. campuran ini disimpan dalam ruang pendingin selama 24 jam, kemudian fraksi encer dipisahkan dan endapan yang dipeoleh digunakan sebagai substrat untuk produksi siklodekstrin.
Substrat yang diperoleh disuspensikan ke dalam bufer fosfat pH 6,0 (0,2M) sesuai dengan konsentrasi yang diperlukan (10 -40%). substrat kemudian ditambah etanol 105 dan CGTase sebanyak 100 U/gram subatrat, proses selanjutnya substrat diinkubasi dalam inkubator goyang dengan kecepatan 200 rpm pada suhu 60 C selama 260 menit.